Kabar mundurnya sejumlah guru Sekolah Rakyat dari tempat mereka mengajar menuai perhatian luas dari masyarakat. Publik menyoroti apakah mundurnya para pendidik ini disebabkan oleh rendahnya gaji. Namun, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) menegaskan bahwa bukan masalah gaji yang menjadi alasan utama mereka mengundurkan diri.
Mendikdasmen menjelaskan bahwa keputusan mundur dari para guru tersebut lebih berkaitan dengan tantangan non-finansial, yang menyentuh aspek psikologis, struktural, dan sistemik dalam proses belajar-mengajar di Sekolah Rakyat.
Untuk memahami lebih dalam persoalan ini, berikut lima alasan utama guru Sekolah Rakyat mundur berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh kementerian.
1. Perbedaan Visi dan Nilai dalam Pendidikan
Banyak guru Sekolah Rakyat merasa bahwa nilai-nilai dan metode pengajaran yang digunakan oleh pengelola sekolah tidak sejalan dengan semangat mereka dalam mendidik. Beberapa sekolah masih menerapkan pendekatan pendidikan yang terlalu kaku dan tradisional, sementara sebagian guru ingin mengembangkan model pengajaran yang lebih inklusif, modern, dan berbasis teknologi.
Kesenjangan ini menciptakan konflik internal yang berkelanjutan, membuat beberapa guru merasa bahwa aspirasi profesional mereka tidak didengar atau difasilitasi oleh manajemen sekolah.
Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih mundur karena merasa tidak diberi ruang untuk berkembang dan berekspresi secara pedagogis.
2. Minimnya Dukungan Profesional dan Manajerial
Guru Sekolah Rakyat bekerja dalam lingkungan yang sering kali kekurangan dukungan profesional. Mereka jarang mendapatkan pelatihan berkala, tidak memiliki mentor atau pembina, serta minim akses terhadap literatur dan pengembangan kurikulum yang mutakhir.
Di sisi lain, sistem manajemen sekolah yang belum mapan juga menjadi hambatan besar. Banyak guru merasa bahwa tidak ada evaluasi kinerja yang adil, feedback yang membangun, atau penghargaan atas kontribusi yang telah mereka berikan. Akumulasi dari berbagai kekurangan ini membuat para guru merasa terisolasi secara profesional.
3. Beban Kerja Berat dengan Sumber Daya Terbatas
Beban kerja guru Sekolah Rakyat bukan hanya mengajar. Mereka juga harus menjalankan berbagai tugas tambahan seperti membuat laporan, mendampingi siswa dengan masalah sosial, membina kegiatan ekstrakurikuler, hingga mengurus administrasi sekolah. Sayangnya, semua ini dilakukan dengan sumber daya yang sangat terbatas.
Minimnya staf pendukung membuat guru harus mengerjakan banyak hal sendirian. Akibatnya, banyak dari mereka yang mengalami kelelahan fisik dan emosional. Burnout menjadi hal yang umum terjadi, terutama ketika tanggung jawab besar tidak dibarengi dengan apresiasi yang memadai.
4. Tidak Ada Kepastian Karier atau Pengembangan Jangka Panjang
Guru Sekolah Rakyat sering kali tidak memiliki kejelasan jenjang karier. Mereka tidak tahu apakah akan mendapat promosi, pelatihan lanjutan, atau pengakuan formal terhadap masa kerja dan prestasi mereka.
Padahal, kepastian karier adalah salah satu motivasi utama dalam pekerjaan jangka panjang. Ketika tidak ada jaminan atau peta jalan yang jelas, para guru merasa stagnan dan mulai mencari peluang lain yang lebih menjanjikan. Tidak sedikit yang akhirnya berpindah ke sekolah swasta atau lembaga pendidikan lain yang menawarkan jalur karier lebih baik.
5. Realita di Lapangan Tidak Seindah Harapan
Guru Sekolah Rakyat umumnya memiliki idealisme tinggi saat pertama kali bergabung—ingin membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, di lapangan, realitanya sangat menantang.
Banyak siswa datang dari latar belakang keluarga bermasalah, lingkungan yang kurang mendukung, atau bahkan memiliki masalah psikologis yang tidak tertangani. Guru harus menghadapi semua itu tanpa pendamping profesional atau alat bantu yang cukup. Lama kelamaan, situasi ini memicu rasa frustasi dan membuat semangat idealisme perlahan pudar.
Langkah Pemerintah: Evaluasi Menyeluruh dan Pembenahan Sistem
Menanggapi situasi ini, Mendikdasmen menyampaikan bahwa pemerintah tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem manajemen guru di Sekolah Rakyat. Evaluasi ini mencakup aspek rekrutmen, pembinaan, dukungan kerja, serta sistem jenjang karier.
Beberapa langkah yang direncanakan pemerintah antara lain:
-
Penyediaan pelatihan berkala untuk guru
-
Penerapan sistem evaluasi dan penghargaan berbasis kinerja
-
Penguatan peran pengawas sekolah dan kepala sekolah sebagai pembina
-
Pemberian akses terhadap materi ajar dan teknologi pendidikan
-
Peningkatan alokasi anggaran untuk Sekolah Rakyat
Mendikdasmen juga mendorong agar pihak pengelola Sekolah Rakyat lebih terbuka dalam menerima masukan dari para guru dan menjadikan mereka mitra sejajar dalam mengembangkan kualitas pendidikan.
Baca Juga : Evaluasi SPMB 2025 Jadi Sorotan, Kementerian Pendidikan Minta Ombudsman Turun Tangan
Kesimpulan: Guru Sekolah Rakyat Butuh Dukungan Nyata dan Terstruktur
Pengunduran diri guru Sekolah Rakyat tidak semata-mata karena gaji. Justru, masalah yang lebih mendasar adalah kurangnya dukungan profesional, beban kerja tidak seimbang, tidak ada jenjang karier, dan realita lapangan yang terlalu berat untuk ditanggung sendiri.
Mendikdasmen telah menegaskan komitmen pemerintah untuk membenahi sistem ini secara menyeluruh. Namun, keberhasilan perubahan ini juga memerlukan partisipasi dari seluruh elemen, termasuk sekolah, masyarakat, dan lembaga sosial.
Sudah saatnya kita memperlakukan guru, termasuk di Sekolah Rakyat, sebagai pilar utama pendidikan bangsa—bukan hanya sebagai pelaksana kurikulum. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan profesional, kita tidak hanya mempertahankan guru-guru terbaik, tapi juga membangun masa depan pendidikan Indonesia yang lebih bermutu.