Anak putus sekolah di NTT kini menjadi sorotan nasional setelah data terbaru menunjukkan lebih dari 145.000 anak di wilayah tersebut tidak mengenyam pendidikan formal. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menjadi daerah dengan angka tertinggi, mencerminkan urgensi penanganan pendidikan di kawasan timur Indonesia.
🔍 Fokus Masalah: Anak Putus Sekolah di NTT
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai salah satu wilayah yang memiliki tantangan besar dalam sektor pendidikan. Berdasarkan laporan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT tahun 2024, tercatat sekitar 145.274 anak usia sekolah tidak lagi berada di bangku pendidikan. Ini mencakup jenjang SD hingga SMA/SMK.
Masalah ini bukan hanya soal angka. Fenomena anak putus sekolah di NTT menunjukkan persoalan struktural yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan infrastruktur pendidikan yang belum merata.
📍 TTS Jadi Kabupaten dengan Anak Putus Sekolah Tertinggi
Dari total jumlah anak putus sekolah di NTT, Kabupaten TTS menduduki peringkat pertama. Jumlahnya mencapai lebih dari 30.000 anak, mencerminkan 20% dari total kasus di provinsi tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan NTT, dalam konferensi pers bulan Juli 2025, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya akses ke fasilitas pendidikan, khususnya di wilayah pedalaman. Banyak anak yang harus berjalan kaki lebih dari 5 kilometer untuk mencapai sekolah terdekat, kondisi ini membuat mereka memilih berhenti sekolah.
💡 Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah di NTT
Beberapa faktor utama penyebab anak putus sekolah di NTT antara lain:
-
Kemiskinan Ekstrem
Banyak keluarga di NTT yang hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga anak-anak diminta membantu pekerjaan rumah atau mencari nafkah. -
Pernikahan Dini
Tingginya angka pernikahan dini menyebabkan banyak remaja perempuan berhenti sekolah setelah menikah. -
Akses Transportasi Terbatas
Infrastruktur jalan dan sarana transportasi masih minim di beberapa kecamatan, terutama di TTS, Sumba, dan Alor. -
Kurangnya Kesadaran Pendidikan
Masih ada orang tua yang menganggap pendidikan bukan hal utama, terutama di daerah pedesaan.
🏫 Program Pemerintah untuk Menekan Angka Putus Sekolah
Pemerintah Provinsi NTT telah meluncurkan sejumlah program untuk menekan jumlah anak putus sekolah di NTT, antara lain:
-
Gerakan Kembali ke Sekolah (GKS)
Sebuah inisiatif yang menargetkan anak-anak yang putus sekolah agar kembali belajar di sekolah formal atau kejar paket. -
Beasiswa Pendidikan Daerah
Pemerintah setempat memberikan beasiswa kepada siswa dari keluarga kurang mampu, mulai dari tingkat SD hingga SMA. -
Sekolah Satap (Satu Atap)
Untuk menjangkau daerah terpencil, sekolah satu atap dibangun agar siswa SD dan SMP bisa belajar di lokasi yang sama.
Namun, hingga pertengahan 2025, program ini belum menunjukkan hasil maksimal. Dibutuhkan sinergi lebih kuat antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat lokal.
📈 Dampak Jangka Panjang Anak Putus Sekolah di NTT
Fenomena anak putus sekolah di NTT tidak hanya berdampak pada masa kini, tetapi juga menciptakan efek jangka panjang seperti:
-
Tingginya angka pengangguran usia muda
-
Rendahnya kualitas sumber daya manusia
-
Potensi meningkatnya kemiskinan antargenerasi
-
Kerentanan terhadap eksploitasi anak dan pekerja anak
Menurut pengamat pendidikan dari Universitas Nusa Cendana, penanganan anak putus sekolah di NTT harus dijadikan prioritas pembangunan daerah untuk 10 tahun ke depan.
Baca Juga : Pesan Mensos soal Kedisiplinan di Sekolah Rakyat yang Harus Dipatuhi Siswa
📢 Ajakan Kepedulian Bersama
Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Dalam menghadapi situasi anak putus sekolah di NTT, bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab. Masyarakat, LSM, dunia usaha, dan tokoh agama juga perlu mengambil peran aktif.
Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
-
Mendirikan komunitas belajar mandiri di desa-desa
-
Memberi donasi buku dan perlengkapan sekolah
-
Menjadi relawan pengajar di daerah tertinggal
-
Mengedukasi orang tua tentang pentingnya pendidikan
Masalah anak putus sekolah di NTT adalah realita pahit yang harus segera diatasi dengan tindakan nyata. Dengan lebih dari 145 ribu anak kehilangan hak dasarnya untuk belajar, masa depan NTT dipertaruhkan. Kabupaten TTS sebagai penyumbang angka tertinggi harus menjadi titik awal perubahan melalui kolaborasi semua pihak.
Pendidikan bukan sekadar bangku sekolah. Ia adalah harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Mari kita pastikan tidak ada lagi anak NTT yang kehilangan kesempatan itu.