Utang Paylater kini menjadi sorotan besar setelah Bank Indonesia merilis laporan terbaru per Juli 2025. Dalam data tersebut, nilai transaksi dan akumulasi utang lewat fasilitas buy now pay later (BNPL) atau yang populer disebut paylater, melonjak signifikan hingga 33,56 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Tercatat, total utang paylater masyarakat Indonesia telah menembus angka Rp24 triliun.
Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan: mengapa masyarakat semakin bergantung pada paylater? Apa dampaknya terhadap stabilitas ekonomi nasional? Dan bagaimana pemerintah bersama otoritas keuangan menyikapinya? Artikel ini akan membahas tuntas dari sisi tren, penyebab, risiko, hingga solusi yang perlu diperhatikan.
Tren Utang Paylater di Indonesia
Dalam lima tahun terakhir, layanan Utang Paylater mengalami pertumbuhan pesat seiring masifnya penggunaan e-commerce dan platform digital. Skema belanja dengan sistem cicilan tanpa kartu kredit dianggap lebih praktis, cepat, serta mudah diakses oleh semua kalangan.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia:
-
Pada tahun 2020, nilai utang paylater masih berada di kisaran Rp3 triliun.
-
Tahun 2022, angkanya melonjak ke Rp12 triliun.
-
Per Juli 2025, totalnya sudah mencapai Rp24 triliun.
Kenaikan drastis ini memperlihatkan bahwa paylater kini bukan sekadar opsi tambahan, melainkan telah menjadi alat keuangan utama bagi sebagian besar masyarakat urban.
Mengapa Utang Paylater Melonjak?
Ada beberapa faktor yang mendorong lonjakan utang paylater di Indonesia:
1. Perubahan Gaya Hidup Digital
Masyarakat, khususnya generasi milenial dan Gen Z, semakin terbiasa berbelanja online. Paylater dianggap solusi instan untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus menunggu gajian.
2. Akses Mudah dan Cepat
Berbeda dengan kartu kredit yang memerlukan persyaratan ketat, layanan paylater hanya butuh verifikasi identitas digital. Dalam hitungan menit, pengguna bisa langsung mendapatkan limit pinjaman.
3. Promosi E-commerce dan Fintech
Diskon besar, cashback, serta cicilan 0% menjadi magnet utama yang membuat orang tergoda menggunakan fasilitas ini, meski kadang tidak terlalu dibutuhkan.
4. Minimnya Literasi Keuangan
Sebagian besar pengguna belum memahami risiko utang berbunga. Banyak yang hanya melihat kemudahan transaksi tanpa menghitung dampak jangka panjang.
Dampak Utang Paylater terhadap Ekonomi Nasional
Pertumbuhan Utang Paylater memang menunjukkan geliat konsumsi masyarakat, namun di sisi lain ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai.
1. Meningkatnya Risiko Gagal Bayar
Jika lonjakan utang tidak diimbangi dengan kemampuan bayar, potensi kredit macet (non-performing loan/NPL) bisa meningkat drastis.
2. Inflasi Konsumtif
Kecenderungan belanja instan melalui paylater bisa meningkatkan inflasi, khususnya di sektor barang konsumsi harian dan gaya hidup.
3. Tekanan terhadap Stabilitas Keuangan
Bank Indonesia menegaskan bahwa lonjakan utang paylater harus terus diawasi agar tidak menimbulkan efek domino seperti krisis kredit mikro.
4. Perubahan Pola Ekonomi Rumah Tangga
Masyarakat kelas menengah mulai terjebak gaya hidup konsumtif. Gaji habis bukan untuk kebutuhan pokok, melainkan cicilan digital yang terus menumpuk.
Respon Pemerintah dan Otoritas Keuangan
Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun sejumlah langkah untuk mengantisipasi risiko lonjakan Utang Paylater.
-
Peningkatan Aturan Perlindungan Konsumen
OJK mewajibkan penyedia layanan paylater memberikan informasi bunga, denda, dan tenor secara transparan. -
Pembatasan Limit Paylater
Untuk mencegah konsumsi berlebihan, regulator akan mengatur batas maksimal limit berdasarkan pendapatan pengguna. -
Edukasi Literasi Keuangan
Pemerintah mendorong kampanye kesadaran finansial, agar masyarakat lebih bijak mengelola pengeluaran. -
Penguatan Data Kredit Nasional
Semua transaksi paylater akan dicatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) sehingga jejak kredit pengguna lebih transparan.
Perbandingan Utang Paylater Indonesia dengan Negara Lain
Fenomena utang paylater tidak hanya terjadi di Indonesia.
-
Amerika Serikat: Layanan BNPL tumbuh 50% selama pandemi, namun kini mulai dikritisi karena memicu utang konsumtif.
-
Australia: Pemerintah mewajibkan penyedia paylater untuk tunduk pada regulasi ketat seperti kartu kredit.
-
Singapura: Mengatur paylater dengan sistem verifikasi ketat agar tidak menjadi pintu masuk praktik pinjaman ilegal.
Dari perbandingan ini, terlihat bahwa Indonesia perlu segera menyeimbangkan pertumbuhan industri fintech dengan aturan yang lebih kokoh.
Strategi Mengelola Utang Paylater dengan Bijak
Agar Utang Paylater tidak menjadi bom waktu, masyarakat perlu mengubah pola pikir dalam mengelola keuangan.
Tips Menghindari Jeratan Utang Paylater:
-
Gunakan paylater hanya untuk kebutuhan mendesak.
-
Batasi jumlah transaksi, maksimal 30% dari penghasilan bulanan.
-
Bayar cicilan tepat waktu untuk menghindari bunga tinggi.
-
Catat semua pengeluaran agar tidak terjebak belanja impulsif.
-
Tingkatkan literasi keuangan melalui pelatihan dan edukasi online.
Baca Juga : Kesenjangan Ekonomi Jadi Akar Kemarahan Publik: Bukan Hanya soal Tunjangan DPR dan Pajak
Kesimpulan
Lonjakan Utang Paylater sebesar 33,56% hingga mencapai Rp24 triliun pada Juli 2025 menjadi alarm serius bagi perekonomian Indonesia. Meski memberikan kontribusi terhadap peningkatan konsumsi, risiko kredit macet dan tekanan keuangan rumah tangga tidak bisa diabaikan.
Dengan sinergi antara pemerintah, regulator, penyedia fintech, dan masyarakat, penggunaan paylater bisa tetap sehat dan produktif. Pada akhirnya, paylater seharusnya menjadi alat bantu keuangan, bukan jerat yang membebani masa depan.