UU Anti-Bullying — Indonesia Mendesak Membutuhkan Payung Hukum yang Lebih Tegas

UU Anti-Bullying — Indonesia Mendesak Membutuhkan Payung Hukum yang Lebih Tegas

UU Anti-Bullying kini menjadi isu hukum dan sosial paling mendesak di Indonesia setelah rangkaian kasus perundungan memicu tragedi yang melibatkan anak, remaja, hingga mahasiswa. Pada awal 2025 saja, berbagai insiden yang dipicu oleh bullying kembali mencuat dan menimbulkan keprihatinan nasional. Dari kasus mahasiswa Universitas Udayana (Unud) yang diduga menjadi korban perundungan hingga aksi ekstrem seperti percobaan pengeboman di SMAN 72 Jakarta dan pembakaran asrama pondok pesantren di Aceh, semuanya menunjukkan pola yang sama: tidak adanya regulasi khusus yang memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban maupun pelaku yang masih di bawah umur.

Menurut sejumlah pakar hukum pidana anak, Indonesia memerlukan UU Anti-Bullying yang berdiri sendiri, bukan sekadar aturan turunan atau kebijakan internal sekolah. Hukuman pidana dan pendekatan pembinaan bagi pelaku, serta mekanisme rehabilitasi korban perlu dipertegas agar kejadian perundungan tidak berkembang menjadi tindakan kriminal yang fatal.


Mengapa Indonesia Mendesak Membutuhkan UU Anti-Bullying?

Infografis Marak Siswa Bullying Di Sekolah | Opsi ID - Situs Berita Pilihan  Kita

1. Tingginya Kasus Bullying yang Berujung Aksi Kriminal

Kasus perundungan di Indonesia tidak hanya sekadar ejekan verbal atau tindakan fisik minor. Banyak kasus kini berkembang menjadi tindak pidana seperti pemerasan, pemukulan, pelecehan, hingga percobaan pembunuhan. Ketiadaan UU Anti-Bullying membuat penanganannya kerap tidak konsisten, karena hanya bergantung pada aturan sekolah atau kebijakan pemerintah daerah.

Salah satu contoh paling menyita perhatian publik adalah dugaan perundungan terhadap mahasiswa Unud yang berujung depresi dan percobaan bunuh diri. Di saat lain, motif pelaku percobaan pengeboman di SMAN 72 Jakarta juga disebut dipicu oleh pengalaman masa lalu terkait bullying yang tidak pernah ditangani secara serius. Dua kejadian ini cukup menjadi sinyal bahaya bahwa tekanan psikologis akibat perundungan mampu memicu tindakan ekstrem jika tidak ada sistem perlindungan yang jelas.


Perundungan Sebagai Masalah Sosial yang Terstruktur

Maraknya Kasus Perundungan, Wajah Dunia Pendidikan Saat Ini

Walau pemerintah telah meluncurkan berbagai program pencegahan bullying di sekolah dan institusi pendidikan, kenyataannya kasus perundungan terus berulang setiap tahun. Menurut data lembaga advokasi anak, angka laporan bullying meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Namun hanya sebagian kecil yang berujung proses hukum karena tidak adanya UU Anti-Bullying yang dapat memberikan dasar penindakan yang jelas.

Bullying bukan hanya masalah individu, tetapi sudah menjadi masalah sosial dan budaya. Banyak lingkungan pendidikan dan keluarga masih menganggap tindakan seperti mengejek, menghukum senior kepada junior, atau “tradisi ospek” sebagai hal yang normal. Ketika perilaku tersebut dilegalkan secara sosial, maka perundungan mudah berkembang menjadi kekerasan berbahaya.


Kekosongan Hukum Menjadi Pemicu Utama

Bullying at preschool: helping children | Raising Children Network

Pakar hukum pidana anak menilai bahwa ketiadaan UU Anti-Bullying membuat sistem hukum Indonesia lamban dalam melindungi korban. Saat ini, aparat penegak hukum hanya dapat menggunakan KUHP, UU Perlindungan Anak, atau peraturan menteri terkait pendidikan, yang cakupannya tidak selalu cocok untuk kasus perundungan kompleks.

Misalnya:

  • Banyak kasus perundungan psikologis yang sulit diproses karena tidak ada aturan spesifik.

  • Kasus cyberbullying sulit ditangani jika tidak disertai bukti elektronik lengkap.

  • Banyak korban takut melapor karena tidak ada mekanisme perlindungan rahasia.

  • Sekolah sering kali mengedepankan “perdamaian internal” ketimbang proses hukum, sehingga kasus lenyap tanpa penyelesaian yang berpihak pada korban.

Tanpa UU Anti-Bullying, aparat pendidikan dan hukum tidak memiliki standar nasional yang baku dalam pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi.


Bentuk Regulasi Anti-Bullying yang Diusulkan Pakar

Para pakar mendorong pengesahan UU Anti-Bullying dengan sejumlah poin kunci, antara lain:

1. Definisi Bullying yang Komprehensif

UU harus menjelaskan bentuk perundungan secara detail:

  • Bullying fisik (memukul, menendang, mendorong)

  • Bullying verbal (menghina, mengejek, mengancam)

  • Bullying sosial (mengisolasi, merusak reputasi)

  • Cyberbullying (pelecehan di media sosial, penyebaran foto aib)

  • Bullying struktural (hukuman senior-junior yang tidak manusiawi)

Tanpa definisi jelas, banyak kasus akan sulit diklasifikasikan.

2. Sistem Pelaporan yang Aman

UU harus mewajibkan sekolah, kampus, dan institusi untuk menyediakan kanal pelaporan:

  • Anonim

  • Dilindungi hukum

  • Dikelola oleh profesional psikologi atau konselor

  • Memiliki batas waktu investigasi

Ini sangat penting karena banyak korban memilih diam karena takut balas dendam.

3. Aturan Khusus untuk Korban

UU perlu menegaskan:

  • Hak korban atas pendampingan psikologis

  • Rehabilitasi jangka panjang

  • Perlindungan privasi

  • Penghentian aktivitas yang membahayakan korban

4. Pendekatan Pembinaan untuk Pelaku yang Masih Anak

Alih-alih hanya dihukum pidana, pelaku anak perlu:

  • Rehabilitasi perilaku

  • Pendampingan konseling

  • Program edukasi anti-kekerasan

  • Pengawasan keluarga dan sekolah

Namun, untuk kasus berat, sanksi dapat ditingkatkan.

5. Sanksi Tegas untuk Institusi yang Menutup-nutupi Kasus

UU harus mewajibkan sekolah dan kampus melaporkan setiap kasus. Jika terbukti menutupi atau membiarkan kasus terjadi, institusi dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin.


Dampak Psikologis dan Sosial Akibat Tidak Adanya UU Anti-Bullying

Tanpa UU Anti-Bullying, banyak korban perundungan mengalami gangguan psikologis jangka panjang. Studi-studi internasional menunjukkan korban bullying lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat, gangguan stres pascatrauma (PTSD), bahkan keinginan bunuh diri.

Di Indonesia, tekanan semakin berat karena:

  • Minimnya layanan konseling sekolah

  • Stigma masyarakat terhadap korban

  • Kurangnya peran keluarga dalam deteksi dini

  • Lemahnya penegakan disiplin di lingkungan pendidikan

Kasus-kasus ekstrem yang muncul dalam beberapa tahun terakhir hanyalah “puncak gunung es” dari ribuan kasus perundungan lain yang tidak terlihat publik.


Mengapa Payung Hukum Nasional Lebih Efektif Dibanding Peraturan Sekolah?

Kebijakan anti-bullying di sekolah umumnya hanya bersifat administratif dan tidak dapat menyelesaikan kasus yang sudah masuk ranah kriminal. Tanpa UU Anti-Bullying, sekolah tidak memiliki kewenangan untuk:

  • Melakukan penyelidikan profesional

  • Menangani kasus yang melibatkan kekerasan berat

  • Melindungi korban secara hukum

  • Mengakses intervensi psikologis mendalam

Sekolah hanya bisa memberikan teguran, skorsing, atau mediasi yang tidak selalu efektif.


5 Alasan Utama Indonesia Membutuhkan UU Anti-Bullying (Fokus Keyword)

1. Mencegah Tragedi yang Berulang

Kasus ekstrem seperti percobaan pengeboman dan bunuh diri menjadi bukti nyata bahwa bullying dapat memicu tindakan fatal.

2. Memberikan Kepastian Hukum

Tanpa UU khusus, proses hukum kerap tumpang tindih dan tidak jelas.

3. Melindungi Generasi Muda Secara Sistemik

Anak dan remaja adalah kelompok paling rentan diserang maupun menjadi pelaku karena ketidaktahuan.

4. Menjamin Penanganan Nasional yang Terstandarisasi

Indonesia membutuhkan satu payung hukum yang berlaku untuk semua sekolah, kampus, dan institusi.

5. Mendukung Kesehatan Mental Anak Bangsa

UU Anti-Bullying dapat memastikan korban mendapatkan layanan rehabilitasi yang memadai.


Baca Juga :Tes GMAT dan GRE: Panduan Lengkap Persiapan Kuliah S2 Luar Negeri


Kesimpulan — Saatnya Indonesia Mengesahkan UU Anti-Bullying

Melihat lonjakan kasus perundungan yang semakin parah dan memicu tindakan kriminal, sudah jelas bahwa Indonesia membutuhkan UU Anti-Bullying yang komprehensif, tegas, dan berpihak pada korban. Tanpa regulasi nasional, perundungan akan terus berulang, sekolah akan kesulitan menangani kasus secara profesional, dan korban akan terus menderita tanpa perlindungan.

Pakar hukum pidana anak menegaskan bahwa rancangan UU Anti-Bullying harus segera diprioritaskan dalam agenda legislasi nasional. Dengan adanya payung hukum khusus, Indonesia dapat melindungi generasi muda, mencegah tindakan kekerasan ekstrem, dan membangun lingkungan pendidikan yang lebih aman dan manusiawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *